
Sebelum beralih nama menjadi “monza”, pakaian impor bekas ini disebut dengan istilah “burjer”. Monza adalah singkatan dari “Mongonsidi Plaza”. Sedang burjer adalah “Buruk-buruk Jerman”. Bah!
Jika Anda punya waktu luang, pergilah ke Jalan Mongonsidi, Pasar Simpang Melati, Simalingkar, atau Helvetia Medan. Lalu, nikmatilah belanja monza di sana. Anda bisa bebas memilih; mulai dari pakaian, sepatu, tas dan macam-macam pernak-pernik busana lainnya.
Selain murah, konon kualitas monza tak perlu ditanya lagi. Tak heran jika pakaian sisa impor yang konon banyak didatangkan dari Jepang, Thailand dan Korea ini cukup digemari semua kalangan.
Ria, 31 tahun, misalnya. “Paling tidak 3 minggu sekali saya belanja monza,” ujar ibu yang bekerja di sebuah perusahaan farmasi Medan itu, sore saat berbelanja di Pasar Simpang Melati.
Serutin itukah? “Iya. Soalnya monza lebih murah. Kualitasnya pun bagus,” ujarnya sambil menenteng dua kantong besar monza belanjaannya.
Imel, 20 tahun: “Saya memang sering kemari. Monza lebih kuat. Modelnya juga bagus. Lebih murah lagi,” ujar mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi USU itu.
Doni, seorang karyawan di perusahaan swasta yang bergerak di bidang agrobisnis, juga mengakui kualitas monza. “Saya kalau beli sepatu olah raga selalu ke sini. Kualitasnya bagus. Saya pernah beli sepatu dari sini, sudah 2,5 tahun saya pakai tapi masih tetap bagus,” akunya.
Dekade 1980-an adalah masa keemasan monza. Saat itu masih sering didapat merk-merk busana berkelas, seperti “Arrow”, “Crochodille”, “Bosnia” dan “Louis Vitton.”
Konon, merk-merk ini sering dijual dengan harga murah. “Belakangan kami tahu dari pengusaha butik Medan kalau merk-merk itu harganya mahal. Seterusnya, kami sudah tahu kepada siapa barang itu harus kami jual. Paling tidak kepada orang yang berada atau pengusaha butik sendiri,” ujar SD Boru Tarigan, salah satu pedagang monza di Jalan Mongonsidi, yang sudah berjualan sejak 1984.
Harga tas bermerk“Louis Vitton” sendiri biasa dijual seharga 8 juta rupiah. “Orang yang tahu mode, pasti paham. Soalnya, itu tas buatan Italia yang lagi tenar saat itu,” ujar Boru Tarigan.
Tapi belakangan, merk-merk itu nyaris tak ada lagi. Apalagi ketika pemerintah mengeluarkan undang-undang pelarangan peredaran monza pada 2000. Konon, sejak itu monza tidak hanya didatangkan dari Jepang atau Korea, tapi juga dari Thailand.
“Sejak itu, banyak pedagang yang kecewa karena kualitasnya pun merosot,” ujar Boru Bukit yang sudah berjualan monza sejak 1985 di Jalan Mongonsidi, tapi sejak 2001 beralih menjual tas baru.
Sejak itu jugalah banyak pedangang monza Mongonsidi banyak yang tutup, meski sebagian masih bertahan seperti Boru Tarigan.
Namun, berakhirnya masa keemasan “Mongonsidi Plaza” ternyata bukan tanda berakhirnya monza. Dan nyatanya, monza masih tetap menjadi pilihan konsumen ketika kehidupan ekonomi masyarakat belum juga pulih.
“Monza sangat membantu dari segi ekonomi. Selain mengurangi jumlah pengangguran, masyarakat ekonomi lemah juga terbantu,” komentar Bary Sinaga, seorang pedangang di Pasar Simpang Melati.*
This entry was posted on 30 January 2008 at 10:29 am and is filed under LIFESTYLE. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
5 Responses to “Belanja Monza, yuk…”
Marudut R. Napitupulu Says:
13 February 2008 at 1:45 am
Jei, abang menginterview para pembeli itu sambil beli ‘burjer’ ga?
Kalau di Balige, biasanya kalau Jum’at udah ramai di pelabuhan nunggu bukka bal.
Jadi ingat waktu aku beberapa kali mengambil burjer dengan gratis hehehe… bissan dihutantai ate. Tapi kalau punya duit beli seh.. hehehehe
Horas Bang.
Bah…! Horas.
Kalau aku memang dari dulu penggemar monza. Sepatu yang kupake sekarang pun monza. Ngapain malu, ya kan. Kita harus akui, kualitas monza memang beda, gitu lho!
partalitoruan Says:
20 February 2008 at 2:50 am
Hidup Monza!! Au pe ido hupakke ito sahat tu sonari.Tikki kuliah pe. Mardomu, ukuran niba yang tidak biasa. Jadi, holan disi ma na adong ukuran na pas.
Sayangnya, monza sekarang rata-rata enggak sebagus dulu. Ya kan, ito?
pamun Says:
21 February 2008 at 7:14 am
hidup burjer jaya terus.parsidikkalang
partalitoruan Says:
21 February 2008 at 10:52 am
Betul itu ito, tapi cem mana pun masih itu pilihanku ito. Masalahnya, yang penting sabar manigati sada2, anggo i pe dapot ma na mantafff, alai tetap do nian dang semantap na uju i. Modal 50rb nunga boi bergaya 4 hali malam minggu, sodap na i ateh. Asing ateh ito, untabo hurasa mar coment mar bahasa batak, hurang sodap hurasa hata Indonesia on, asing.
satya sembiring Says:
23 February 2008 at 3:34 am
hahah monja itu emang kulitas baik, saya juga memakai sebagian baju moja tapi tetap pilih pilih baju baju bermerek . teman teman kira saya habiskan uang untuk beli semua barang bermerek itu. penampilan jadi ngetren tapi orang tidak pernah tahu itu moja karena di padu dengan barang barang monja lainya sehinga lebih elegan..dan mewah..
ehehehe bocor rahasia dehhh